03 November 2011

TRADISI TARSULAN SUKU KUTAI


A.     Tarsulan Seni Budaya Suku Kutai
Tarsulan adalah salah satu seni budya suku Kutai yang sampai sekarang masih ada di dalam masyarakatnya. Kalau dilihat dari tujuan digelarnya; tarsulan ini ada dua macam, yaitu: Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan Perkawinan. Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran berkaitan dengan tardisi agama, khususnya agama Islam. Sedangkan Tarsulan Perkawinan berkaitan dengan tradisi adat perkawinan suku Kutai.
Tradisi tarsulan diawali masuknya agama Islam di daerah Kerajaan Kutai Ing Kertanegara. Seperti kita ketahui agama Islam berasal dari Arab yang masuk ke Nusantara ini melalui para pedagang Gujarat. Maka tidaklah mengherankan bersama masuknya agama Islam, masuk pula seni sastranya yang di antaranya bentuk ’syair’. Dari bentuk syair inilah yang menimbulkan keinginan dari salah seorang bangsawan Kutai untuk menciptakan seni sastra yang dapat dikaitkan dengan adat budaya suku Kutai tersebut. Maka sesuai ’nafas’ Islamnya lahirlah Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran dan dilanjutkan dengan Tarsulan Perkawinan.
Oleh sebab itu tidak heran kalau ada anggapan bahwa seni budaya tarsulan adalah seni budaya milik kaum bangsawan kerajaan Kutai bukan milik masyarakat umum. Namun ternyata tarsulan ini juga memasyarakat dalam suku Kutai, khususnya Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran.
Menurut hasil penelitian; dahulunya tuturan Tarsulan tersebut disampaikan oleh Penerasul dengan cara menghafal. Tetapi dalam perkembangannya karena Penerasul merasa sulit untuk menghafal, maka mereka menggunakan bentuk tertulis (naskah). Dengan demikian pada masa sekarang ini orang yang beterasul diistilahkan dengan membaca terasul atau pembacaan terasul. Walaupun begitu di daerah pedalaman (di sekitar Danau Jempang) masih ada Penerasul yang menyampaikannya dengan menghafal. Penerasul tersebut mengatakan bahwa Beliau belajar ’Berterasul’ tersebut dengan cara dilisankan (pewarisannya secara lisan).
Cara pembacaan tarsulan sebenarnya dasarnya adalah seperti membaca syair karena di dalam masyarakat kita juga ada mengenal pembacaan syair. Sedangkan kata syair sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu; syurr yang artinya berdendang atau bertembang. Ada assumsi pembacaan tarsul ini seperti membaca syair karena memang bentuk penulisan tarsul adalah bentuk syair. Apalagi lahirnya tarsulan ini dilatari seperti saya jelaskan di atas. Hanya saja pengembangan pembacaan tarsulan ini sesuai dengan apresiasi masyarakat pembacanya. Sehingga masing-masing pembaca (pembaca di daerah lain) agak berbeda. Perbedaan ini di dalam sastra lisan merupakan variasi yang wajar. Kalau dikatakan yang mana yang benar, maka semua ‘lagu’ pembacaan itu benar karena itu merupakan hasil apresiasi seni. Tetapi sebagai ‘alat ukurnya’ dapat kita gunakan dasar ‘nafas membaca syair’.
 Orang yang menyampaikan/penutur Tarsulan disebut Penerasul atau Tukang Terasul. Untuk Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran biasanya hanya terdiri satu orang saja. Jenis kelamin Penerasul tergantung pada jenis kelamin yang berkhatam Al Quran. Berbeda dengan Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran, Tarsulan Perkawinan; Penerasulnya harus berpasangan. Penerasul laki-laki mewakili mempelai laki-laki, dan Penerasul perempuan mewakili mempelai wanita.
1. Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran
Tarsulan Berkhatam/Batamat Al Quran biasanya digelar oleh masyarakat Kutai apabila ada putra-putri mereka yang akan berkhatam Al Quran. Kelengkapan tradisi ini sebenarnya sama dengan kelengkapan berkhatam Al Quran pada suku Banjar ataupun suku Kutai sendiri yang berkhatam Al Quran tanpa menggelar Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran, yaitu: Ajuran yang ditancapkan pada tambaan pulut (nasi ketan yang dipadatkan dan dibentuk seperti gunung) serta payung kembang (payung yang dibuat dari bungan melati dan mawar).
  
Tata cara tradisi berterasul ini, yaitu: sebelum para santri memulai membaca Al Quran, maka Penerasul memulainya dengan membacakan tarsul. Fungsi pembacaan tarsulan pada acara berkhatam Al Quran ini adalah sebagai pengantar awal untuk pembacaan Al Quran. Berikut salah satu versi Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran:

Assalamualaikum saya ucapkan                       
Kepada hadirin hadirat sekalian                                         
Inilah tarsul saya bacakan                                 
Siapa sudi tulung dengarkan                                             

Ada suatu kayon namanya                                
Di atas nasi ditajukannya                                   
Seekor burung dari puncaknya                                         
Menanggung tarsul dengan pantunnya                             

Betamat Quran tamat bacaan                                           
Dengan anugrah karunia Tuhan                                        
Ajaran agama jangan ditinggalkan                     
Di akhirat nanti kita dapatkan
                                           
Membaca Quran besar pahalanya                    
Kepada pendengar rahmat baginya                  
Jika mengaku akan hambanya                                         
Di sisi Tuhan akan tempatnya                                           

Bentuk Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran pada kutipan di atas terlihat sekali bentuknya adalah bentuk syair. Hal ini dibuktikan dari rima setiap bait, yaitu: a-a-a-a dan keempat lariknya semuanya isi. Kemudian dari segi isi merupakan nasihat agama. Kalau Syair bentuk puisi lama dalam sastra biasanya isinya adalah hikayat atau cerita. Misalnya; Syair Siti Jubaidah atau Syair Nabi Bercukur dan sebagainya. Tetapi pada tarsulan ini isinya murni berupa nasihat agama atau informasi kemasyarakatan.
2. Tarsulan Perkawinan
Tarsulan Perkawinan biasanya disampaikan oleh dua orang penerasul, yaitu penerasul laki-laki dan penerasul wanita. Penerasul laki-laki mewakili mempelai laki-laki dan penerasul wanita mewakili mempelai wanita. Kedua penerasul tersebut dalam beterasul saling berbalas pantun atau bersahut-sahutan.
Pembacaan tarsulan diawali dengan duduknya kedua mempelai di pelaminan. Setelah kedua mempelai duduk di pelaminan, maka kedua penerasul duduk/berdiri di tempat yang sudah disediakan di depan pelaminan. Kemudian mulailah pembacaan tarsulan perkawinan tersebut.
Kelengkapan dalam kegiatan pembacaan Tarsulan Perkawinan ini adalah; dua buah Astakhona atau Astagona (perubahan ini dimungkinkan karena adanya pengaruh pelafalan penuturnya).Astakhona jumlahnya sepasang, yaitu: Astakhona mempelai laki-laki dan Astakhona mempelai wanita). Astakhona terdiri dari; tambaan pulut (nasi ketan yang dipadatkan) di atas talam kuningan yang dihiasi dengan dadar telur dibuat berbagai bentuk (sekaligus sebagai hiasan). Di tengah-tengah tambaan pulut tersebut dipancang isi batang pisang yang dihiasi dengan bunga-bunga dari kertas (disebut Kayon)dan di sekitarnya ditancapkan bendera-bendera kertas kecil (seperti ajuran). Kemudian di puncak Kayon tersebut bertengger seekor burung merpati yang terbuat dari kayu atau kertas dan di ujung paruhnya tergantung ’naskah Tarsulan Perkawinan’. Berikut contoh tuturan Tarsulan Perkawinan:


Pria     : Dengan nama Allah kami ucapkan,                   Wanita : Ada suatu kayon namanya,       
                              menghadap hadirin serta undangan.                                   di atas nasi ditajukannya.
                              Terima kaseh kami hidangkan,                                            Seekor burung dengan dari puncaknya,
                              di hadapan hadirin kami kumandangkan.                            menanggong terasul dengan pantunnya.

                 Pria     : Assalamualaikum wahai adinda,                            Wanita: Alaikum salam jawab Adinda,
                              Sambutlah salam dari Kakanda.                                          silahkan masuk wahai Kakanda.
                              Kakanda datang bukan bercanda,                                       Menyilah duduk bersama Adinda,
                              besarlah hajat di dalam dada.                                              apakah hajat di dalam dada?

                 Pria    : Cabe semat di dalamnya padi,                               Wanita:  Wahai Kakanda muda taruna
                             simpanlah gunting di dalam cawan.                                      Adinda miskin lagi pun hina.
                             Besarlah hajat di dalam hati,                                                 Sungguh besar hati belum sempurna,
                             ingin menyunting bunga di awan.                                          tiada orang tiada berguna.

Bentuk Tarsulan Perkawinan pada kutipan di atas terlihat sekali bentuknya adalah bentuk syair dan pantun. Hal ini dibuktikan dari rima setiap bait ada yang terdiri  a-a-a-a dan ada pula yang berima a-b-a-b. Pada keempat lariknya ada yang semuanya terdiri isi namun ada pula yang terdiri dari sampiran dan isi (sesuai ciri-ciri pantun). Kemudian dari segi isi terasa sekali muatan karakter budaya masyarakat suku Kutai.

B.     Perkembangan Seni Tarsulan
Sebagai bagian dari seni sudah tentu seni Tarsulan ini berkembang sesuai apresiasi dari kolektifnya yang  didasari akan fungsi di dalam masyarakatnya. Kalau secara teradisional seni tarsulan ini dapat dibedakan seperti tersebut di atas tadi, yaitu: Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan Perkawinan. Tetapi dalam perkembangannya seni tarsulan ini diapresiasi dan berkembang dalam kolektifnya berdasarkan tujuan dan isinya.
Berdasarkan tujuan penyampaian dan isi tarsulan tersebut, maka dibedakanlah tarsulan dari aspek tujuan dan temanya. Ada tarsulan yang untuk pelaksanaan Erau, Sunatan, Lamaran ataupun acara ulang tahun anak-anak dan lain-lain. Namun ada pula yang bertema politik misalnya, menjadi sarana kompanye politik; tarsulan yang bertema sosial untuk sarana propaganda sosial maupun kritik sosial dan lain sebagainya.
Pada masa sekarang ini tarsulan berdasarkan tema inilah yang marak menjadi objek lomba-lomba yang dilaksanakan masyarakatnya. Sedangkan Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan Perkawinan jarang sekali digelar karena untuk pergelaran tarsulan teradisional ini memerlukan beberapa kelengkapan tertentu. Misalnya; Tarsulan Berkhatam Al Quran  kelengkapannya adalah “Tambaan Nasi Ketan, Ajuran dan Payung Kembang”. Begitu pula dengan Tarsulan Perkawinan kelengkapan utamanya adalah sepasang “Astakhona”. Semua kelengkapan ini memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Selain itu sulit sekali sekarang ini untuk mendapatkan penerasul, terutama penerasul yang berpasangan untuk Tarsulan Perkawinan. Kedua hal inilah paling tidak faktor penyebab “enggannya” masyarakat suku Kutai melaksanakan kegiatan seni tarsulan ini.
Sebagai seni teradisional diharapkan apresiasi masyarakatnya dan pemerintah berkembang ke arah yang positif. Upaya peningkatan apresiasi masyarakat seperti cara seminar yang dilaksanakan hari ini sangat besar pengaruhnya. Diharapkan pengaruh ini semakin berkembang di masa akan datang agar seni tarsulan dapat lestari sampai ke generasi berikutnya.

C.     Teks Tarsulan Berkhatam Al Quran
Berikut salah satu teks tarsulan yang saya temukan pada saat saya melakukan penelitian karena sebenarnya ada beberapa teks tarsulan yang lain. Ada kecendrungan bagi penerasul yang memiliki kemampuan mengarang tarsul biasanya dia akan selalu mengarang tarsul yang akan dibacanya sesuai dengan tujuan pagelaran tarsulan tersebut.

  TARSULAN BERKHATAM AL QURAN

Assalamualaikum saya ucapkan                       
Kepada hadirin hadirat sekalian                                         
Inilah tarsul saya bacakan                                 
Siapa sudi tulung dengarkan                                             

Ada suatu kayon namanya                                
Di atas nasi ditajukannya                                   
Seekor burung dari puncaknya                                         
Menanggung tarsul dengan pantunnya                             

Betamat Quran tamat bacaan                                           
Dengan anugrah karunia Tuhan                                        
Ajaran agama jangan ditinggalkan                     
Di akhirat nanti kita dapatkan
                                           
Membaca Quran besar pahalanya                    
Kepada pendengar rahmat baginya                  
Jika mengaku akan hambanya                                         
Di sisi Tuhan akan tempatnya                                           

Pengikut rasul junjungan kita                                             
Agama Islam sudahlah nyata                            
Kita menyembah Tuhan semesta                      
Tuhan pencipta alam semesta                                          

Ajaklah kawan serta kerabat
Jangan membawa hati yang murtad                 
Tuntutlah ilmu jangan terlambat
Pintunya terbuka untuk bertobat

Dengan karunia Yang Maha Esa
Mengerjakan larangan tentu berdosa                
Janganlah suka berputus asa
Di akhirat nanti mendapat siksa

Larangan itu bukanlah satu
Barang yang jahat sudahlah tentu
Janganlah lupa setiap waktu
Mohon kepada Tuhan yang satu

Wahailah kawan sanak saudara
Kepada Tuhan kita mengabdi
Dunia ini hanya sementara
Akhirat nanti kekal abadi

Janganlah malu kita belajar
Janganlah angkuh ataupun sombong
Jikalau sudah di Yaumil Maksyar
Kepada siapa meminta tulung

Ya Allah Khaliqul mabat
Di dal   am hadis sudah tersurat
Mulut terkunci dapat tersumbat
Seluruh badan menjadi berat

Jika ajal sudahlah datang
Siapa bisa akan melarang
Sakit seluruh sendi dan tulang
Seperti tertusuk sebilah pedang

Dari dulu hingga sekarang
Amal ibadah janganlah kurang
Harus jauhi barang terlarang
Hilanglah gelap terbitlah terang

Amal ibadah kita kerjakan
Barang larangan kita tinggalkan
Ajaran agama kita tingkatkan
Kepada Tuhan kita memohon ampunan

Tamatlah surat tamatlah larangan
Di atas kertas saya goreskan
Pada hadirin serta undangan
Jika bersalah mohon maafkan



Sumber bahan:
Arifin, Syaiful. 1995. Terasul Betamat Suku Kutai Ditinjau dari Bentuk Puisi Lama (Penelitian). Samarinda: Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP unmul
Arifin, Syaiful. 1997. Tarsulan Perkawinan Suku Kutai Ditinjau dari Bentuk Puisi Lama (Penelitian). Samarinda: Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman


25 Oktober 2011

PUISIKU:

PADAHAN EMEK

Nak!
ini zaman repormasi
awaq mesti hati-hati
lengah sedikit bisa ada di higa besi

yang tuha kerjaannya ngerupsi
yang muda kelakuan tega urang yang belaki-bebini
kanak-kanak apa lagi?

urang bini enda jadi urang laki
urang laki begaya tega urang bini
aturan agama sida akali
makanya bala datang beganti-ganti

Nak!
awak mesti mandiri
sekolah lainnya pakai jabatan tinggi
tapi pakai etam menata diri
biar endi terus dikerongoi

dah dodong rasanya dikerongoi
mulai dato nenek etam sampai bapak awak wayah ni
putih dipolah sida jadi hitam
yang hitam berubah jadi abu-abu
eh lawas-lawas jadi putih tega salju
padahal segalanya hanya semu

Nak!
Tata akal budi
Tebalkan iman dalam hati
agar tenteram di dunia sampaikan mati

(Samarinda - 2008)

Terjemahan:

NASIHAT IBU

Nak!
ini zaman repormasi
kamu harus hati-hati
kalau lengah bisa berada di samping jeruji besi

yang tua pekerjaannya korupsi
yang muda prilakunya seperti orang yang suami-istri
anak-anak apa lagi?

perempuan ingin menjadi laki-laki
laki-laki bertingkah seperti perempuan
aturan agama mereka siasati
maka bencana datang silih berganti

Nak!
kamu harus mandiri
sekolah bukan untuk jabatan tinggi
tapi untuk menata diri
biar tidak terus menerus dibodohi

sudah lelah rasanya dibodohi
sejak datuk nenek kita sampai bapakmu sekarang ini
putih dibuat mereka menjadi hitam
yang hitam menjadi abu-abu
eh lama-lama menjadi putih seperti salju
padahal semuanya hanyalah semu

Nak!
Tata akal budi
Tebalkan iman di dalam hati
agar tentram di dunia sampai ke mati

(Samarinda - 2008)

Sastra Kutai


“AJI JAWA” SASTRA LISAN RAKYAT KUTAI

*) Drs. Syaiful Arifin, M. Hum.


A. Pendahuluan

Produk sastra lisan yang merupakan karya sastra, adalah cerminan angan-angan kolektifnya (Dananjaya: 1991 ), serta dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran, dan filsafat (Wellek, 1966). Dipahami, bahwa karya sastra (khususnya bentuk lisan) dapat menggambarkan keinginan, angan-angan, dan cara berpikir kolektifnya. Hal inilah, yang mendudukannya sebagai dokumen yang sangat penting dalam perkembangan kesusastraan secara khusus, dan kebudayaan bangsa secara umum.

Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku bangsa, sudah tentu kaya pula dengan berbagai cerita rakyat bentuk lisan. Semi (1993), menjelaskan bahwa sastra lisan yang terdapat pada masyarakat suku bangsa di Indonesia telah lama ada, bahkan setelah tradisi tulis berkembang, sastra lisan masih dijumpai. Baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas, sastra lisan di Indonesia luar biasa kayanya, dan luar biasa ragamnya. Setiap suku sebagai suatu kolektif tertentu di Indonesia, pasti memiliki khasanah sastra lisan, baik itu bentuk prosa maupun bentuk puisi. Thomson (1977), mengatakan bahwa sastra lisan tidak terbatas hanya pada satu tempat, atau lingkungan satu budaya tertentu saja.

Seperti suku-suku lainnya di Nusantara ini, suku Kutai pun memiliki sastra lisan, baik bentuk puisi, prosa, maupun bentuk drama tradisional. Salah satu bentuk prosanya, adalah cerita Aji Jawa.

Cerita Aji Jawa merupakan salah satu cerita rakyat Kutai yang mulai ‘langka’. Cerita ini mulai tidak dikenal oleh generasi muda dari kolektifnya karena para pencerita cerita Aji Jawa ini sudah lanjut usianya, dan malah sudah banyak yang meninggal. Selain itu para pencerita ini mulai meninggalkan tradisi bercerita secara lisan kepada anak cucu mereka. Akibatnya, cerita Aji Jawa ini tidak terwariskan kepada generasi berikutnya.

B. Cerita “Aji Jawa”

Judul cerita Aji Jawa ini diambil dari nama tokoh utama dalam cerita, yaitu Aji Jawa. Kata Aji Jawa bukanlah nama gelar kebangsawanan dan tidak ada pula hubungannya dengan suku Jawa. Menurut salah seorang informan, Bapak Drs. H. Syahrani Effendi, kata Aji Jawa berasal dari olok-olok masyarakat sekitarnya kepada tokoh cerita yang selalu mengaku keturunan bangsawan Kutai yang bergelar Aji. Sang tokoh selalu mengatakan bahwa ia adalah Aji jua (bhs. Kutai) yang artinya dalam bahasa Indonesia Aji juga. Dari kata Aji jua oleh masyarakat sekitar tokoh diplesetkan menjadi Aji Jawa. Maka melekatlah nama Aji Jawa pada tokoh cerita Aji Jawa ini. Dongeng Aji Jawa ini sangat populer pada masa lalu sebelum sarana hiburan lain muncul, seperti radio, televisi, parabola, VCD, dan teknologi komunikasi canggih lainnya.

Cerita Aji Jawa tergolong cerita dongeng, tetapi cerita ini memiliki tiga macam genre, yaitu cerita binatang, cerita istanacentris (dongeng biasa), dan cerita jenaka (humor).

Cerita “Aji Jawa ngan Pelandok” atau “Aji Jawa ngan Berok Tunggal” merupakan dua contoh dongeng binatang (fabel) dalam cerita Aji Jawa. Pada cerita ini digambarakan Aji Jawa merupakan tokoh yang berprilaku sebagai manusia biasa. Tokoh ini dideskripsikan bukan sebagai manusia super atau yang memiliki kelebihan sehingga dapat mengatasi semua permasalahan yang dihadapinya seperti lazimnya cerita-cerita dongeng. Walaupun teks Aji Jawa ini termasuk klasifikasi cerita dongeng binatang, tokoh sentralnya tetap digambarkan sebagai manusia biasa yang penuh dengan berbagai kelemahan, dan kesalahan. Prilaku sebagai manusia biasa, lugu, dan terlalu mempercayai seseorang. Keluguan, dan rasa percaya yang berlebihan inilah menjadikan tokoh Aji Jawa terlihat lemah, dan bodoh. Lemah dan bodoh menimbulkan motif-motif cerita(Sutrisno, 1983) yang menjadi penggerak cerita Aji Jawa

Bini Aji Jawa Beliuran Enda Makan Gangan Keladi” atau “Aji Jawa ngan Putri Tikus” adalah contoh varian dongeng biasa (cerita istanacentris) dari cerita Aji Jawa. Pada dongeng biasa ini tokoh Aji Jawa merupakan seorang raja. Begitu pula pada cerita “Putri Subang Sepasang” diceritakan Aji Jawa adalah seorang raja yang memiliki dua orang putra yang bernama Ahmad dan Muhammad.

Ingkar janji bukan gambaran tokoh hero lazimnya dalam dongeng, tetapi itulah gambaran watak manusia untuk melindungi sesuatu yang sangat disayanginya. Aji Jawa mengingkari janjinya karena sangat sayangnya pada Putri Bungsu Jawa. Dia tidak rela putrinya dijadikan istri oleh seekor ular naga. Padahal dalam cerita “Bini Aji Jawa Beliuran Enda Makan Gangan Keladi” ini tokoh Aji Jawa adalah seorang raja yang memerintah di sebuah negeri.

Pada akhir cerita tokoh Aji Jawa harus rela menepati janjinya. Dia tidak berdaya melawan kekuatan ular naga, tetapi dengan menepati janjinya tokoh Aji Jawa mendapat imbalan kebahagian karena ternyata ular naga itu adalah seorang pangeran tampan yang sangat sesuai disandingkan dengan Putri Bungsu Jawa.

Cerita “Bini Aji Jawa Beliuran Enda Makan Gangan Keladi” ini menunjukkan bahwa tokoh Aji Jawa walaupun seorang raja, dia tetaplah manusia biasa yang punya rasa sayang. Sehingga karena rasa sayang pada putrinya mempengaruhi keluhuran budinya sebagai raja.

Salah satu fungsi cerita Aji Jawa adalah sebagai sarana hiburan. Hal ini tergambar pada varian cerita humor (dongeng humor) “Aji Jawa Dikerongoi” atau “Aji Jawa Kehabisan Nyaman”. Walaupun kedua contoh cerita ini berfungsi sebagai sarana hiburan tetapi tetap saja memiliki pesan yang ingin disampaikan pencerita kepada para penikmat cerita tersebut. Pesan yang disampaikan bisa saja mengandung fungsi pendidikan maupun fungsi kritik sosial.

C. Penutup

Cerita “Aji Jawa” merupakan proyeksi masyarakat suku Kutai; baik itu merupakan buah pikiran, kepercayaan, prilaku, kebiasaan, adat-istiadat, maupun pandangan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Teeuw (1984) bahwa sebuah karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya.

Daftar Pustaka :

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT. Temprint.

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Thomson, Stith. 1977. The Folktale. Oxford: University of Calofornia Press.

Wellek, Rene and Austin Werren. 1966. Theory of Literature. Penguin Books: Harmondsworth, Middlesex, England.

*) Staf Pengajar Program Studi Pend. Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Univ. Mulawarman

Materi seminar sastra ini disajikan pada seminar sastra yang dilaksanakan oleh Yayasan Kaki Langit pada tanggal 23 Februari 2011 di Taman Budaya Samrinda.